Rabu, 31 Mei 2017

Intoleransi makin berkembang di Indonesia
(tinjauan permasalahan warganegara dan negara)
Toleransi dan intoleransi, dua kata ajaib yang bisa memiliki arti penting dalam mendirikan sebuah Negara. Apalagi bila negara tersebut memiliki keanekagragaman budaya, agama, adat istiadat seperti negara kita ini, Indonesia. Seiring dengan berkembangnya zaman, dua kata tadi muncul ke permukaan melalui bantuan media-media yang ada.
Jika dulu toleransi adalah hal yang selalu dijadikan fondasi persatuan dan kesatuan. Merupakan ciri khas masyarakat kita,  tiba-tiba saja kata intoleransi muncul secara serampangan baik di jejaring sosial maupun berita-berita harian, baik cetak maupun online. Seolah-olah mengungkapkan kebohongan adanya toleransi dalam masyarakat yang ada.
Toleransi berarti adanya sikap saling menghargai. Menghormati dalam keberagaman. Mengasihi tanpa pandang bulu siapa dia. Dari mana latar belakangnya. Siapa orang tuanya, atau di mana ia dilahirkan. Toleransi berarti hidup berdampingan. Saling sapa, senyum, membantu yang membutuhkan. Menolong mereka dalam musibah. Salinng menguatkan baik dalam perkara yang besar dan perkara yang kecil.
Jika kita tengok kebelakang, banyak sekali contoh toleransi dalam kehidupan kita. Tak perlu jauh-jauh melihat berita untuk menemukannya. Sebut saja, di sekolah tempat kita menimba ilmu. Dalam satu kelas mayoritas bukan orang Indonesia asli. Ada keturunan Arab, ada keturunan Jepang, ada pula asli kelahiran Indonesia, namun pemegang passpor Malaysia.
Bukan hanya dari segi suku mereka berbeda. Dari segi intlektualpun mereka sangat plural. Ada yang ber IQ tinggi. Ada yang yang belum mampu berkomunikasi dengan baik. Beberapa anak bahkan masih harus mendapat perhatian khusus karena mereka berkebutuhan khusus.
Tapi saat mereka mulai mengerjakan tugas. Yang paling pandai akan membatu yang paling tidak bisa. Tak peduli dari mana latar belakang mereka. Ketika satu diantara mereka yang tak bisa komunikasi hilang, teman-teman lain berusaha mati-matian mencarinya tanpa paksaan dari siapapun. Itulah  yang disebut toleransi.
Mungkin sebagian berfikir, toleransi mereka karena settingan atau di kondisikan demikian oleh sekolah. Kita bisa menulusuri contoh lain yang lebih popular saat ini. Jika anda berjalan-jalan ke Solo, di sekitar jalan Jalan Gatot Subroto, bisa terlihat sangat jelas ada hal ganjil di sana. Ganjil bukan karena tabu melainkan karena ada Masjid bersebelahan dengan gereja. Dua bangunan ini, sudah cukup layak  menjadi  saksi bisu hidupnya toleransi antar kepercayaan di daerah tersebut. 
Bagaiman dengan kata intoleransi?. Masih segar di ingatan  saya saat seorang guru kewarganegarran menerangkan apa itu intoleransi. Panjang sekali maknanya. Yang jelas kata ini mencerminkan adanya sikap saling benci. Saling tidak memahami. Iri hati, tidak mau mengalah, mementingkan kepentingan golongan.
Tak ada penghargaan atas hak apapun yang Tuhan titipkan pada mereka. Mereka selalu mengatakan saya benar, ikuti atau terlindas. Turuti atau pergi. Miris memang jika harus di terangkan dengan bahasa yang saya pakai. Mengingat saya sendiri juga salah seorang yang pernah mengalami intoleransi itu. Trauma dan ketakutan menjadi penglaman tak terlupakan mengenai kata intoleransi.
Ikut menghargai perbedaan serta berpartisipasi menjadi bagian dari sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa, semestinya menjadi suatu keharusan bagi setiap warga negara Indonesia. Mengingat pancasila sila ke 3 berbunyi “Persatuan Indonesia”. Faktanya banyak di antara kita, hanya hafal sila ke tiga tersebut.
Tapi untuk melaksanakannya, jangan harap. Mengingat, masih banyak sekali perbedaan yang ada antara satu individu dengan individu lain. belum lagi ada segelintir golongan dengan pengaruh yang kuat berusaha menyusupkan paham atau ideologi yang mereka yakini. Sadar atau tidak hal inilah yang juga memicu tumbuhnya sikap intoleransi pada masyarakat kita.
Sangatlah tidak etis jika saya harus mencontohkan intoleransi dari segi kehidupan saya. Mari kita ambil contoh dari berita yang sudah tidak diragukan lagi kebenarannya. Beberapa bulan lalu saat sebagian besar masyarakat Indonesia menunaikan ibadah puasa, masyarakat digegerkan dengan berita mengenai penutupan warung oleh oknum satpol PP.
Dialah nenek Saeni, seorang penjual nasi di daerang Serang, Banten. Hari itu, Rabu tanggal 8 Juni 2016. Bagaikan tersambar petir dengan lengan tinggi, tiba-tiba satpol PP merampas semua dagangan yang ada di warungnya. Dengan alasan adanya pelarangan berjualan di bulan itu.
Dalam kasus ini, ada pihak yang pro dan setuju atas penggerebakan itu. Ada pula yang merasa tindakan tersebut terlalu berlebihan. Mengingat ada lebih dari satu agama di Indonesia. Bagi pihak yang merasa kontra, mereka sampai rela mengumpulkan banyak donasi untuk mengganti kerugian ibu Saeni. Bagi mereka yang Pro, tentu saja tindakan penggalangan dana tersebut  dianggap bodoh.
Kurang ekstrimkah contoh di atas? Mungkin dengan melihat keadaan di DKI Jakarta  sekarang, akan membuat sebagian kita bisa melihat dengan jernih.  Salah satu calon Gubernur yang akan maju dalam PILKADA mendatang berasal dari kaum minoritas.
Permasalahan bukan hanya dari segi etnis, agama bahkan juga banyak isu-isu lain yang diangkat para pendukung  calon-calon Gubernur yang akan menjadi lawannya.
Pertempuran tidak akan seru bukan jika hanya berjalan biasa-biasa saja, hal inilah yang coba diyakini oleh Sang Gubernur yang  mencalonkan diri kembali. Ia berusaha tetap santai dan tidak terlalu ambil pusing atas intoleransi yang dialaminya. Baginya intoleransi seperti itu sudah sering terjadi. Hanya saja bedanya dulu tidak terblow up oleh media.
Pada dasarnya di dalam setiap kehidupan ini, selalu saja ada pilihan. Pilihan untuk bertindak baik atau buruk. Pilihan untuk menjadi bagian dari masyarakat penuh toleransi, atau sebaliknya. Ikut dalam pusaran sekelompok orang yang tidak mengenal perbedaan sama sekali, intoleransi atau sebaliknya, menjadi bagian dari golongan anti toleransi yang memukul rata semua perbedaan.
Sebagai salah satu insan yang lahir di bumi Pertiwi, saya pun akan lebih setuju mengikuti jejak para toleran. Bukan karena saya sering mendapat perlakuan kurang adil, melainkan karena saya ingin menjadi waraga Negara yang baik. Saya tidak ingin merusak Negara ini dengan paham intoleransi. Saya ingin negara ini menjadi semakin kuat dalam perbedaan, dengan kata toleransi sebagai perekatnya.
Dalam kasus lain kita ketahui bahwasanya intoleransi semakin meningkat setiap tahunnya dan jawaban nya pun karena pemerintah menganggap wajar terhadap hal ini dan mengabaikan hak asasi manusia yang ada. Hal ini terlihat ketika presiden kita SBY sangat minim kaitan nya dengan intoleransi di Indonesia. SBY hanya gemar melakukan komitmen politik-politik kata yang berujung pada pencitraan. Hal ini terlihat dari penelitian institute tahun 2011.
Kita mungkin tidak akan lupa mengenai kasus Ahmadiyah, kasus pembakaran gereja, kasus syah serta kasus lainnya. Apakah kasus diatas semua disebutkan akan penyelesaian mengenai hal ini? Cukup disayangkan negera tidak berani mengungkap dan menindak para pelaku. Negara justru membiarkan dan terlihat seperti tertekan terhadap sekelompok masyarakat. Artinya dalam kasus intoleransi negara kalah dan tidak mampu memberikan perlindungan terhadap warga negara nya.
Adapun cara yang dapat meningkatkan sikap toleransi antara lain :
- Menumbuhkan rasa Kebangsaan dan dan Nasionalisme.
- Mengakui dan menghargai Hak Asasi Manusia.
- Tidak memaksakan kehendak orang lain dalam memilih.
- Memberikan bantuan pada setiap yang membutuhkan tanpa memandang perbedaan.
- Memperkokoh silaturahmi dan menerima perbedaan.

Pada hakikatnya Indonesia adalah Negara yang memiliki keragaman agama, suku, dan budaya. Namun keanekaragaman tersebut tidak akan menjadikan kita tercerai berai bila kita dapat menjaga keanekaragaman itu dengan saling bertoleran. Toleransi adalah tonggak untuk mewujudkan kehidupan yang rukun, harmonis, aman, dan tentram. Untuk itu marilah kita saling toleran agar supaya perbedaan diantara kita dapat menyatu dan menjadikan Negara kita Negara yang majemuk dan sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Waspada Virus Korona

WASPADA VIRUS KORONA (MATA KULIAH ETIKA PROFESI) Beberapa hari ini dunia dihebohkan dengan adanya virus baru yang sedang merajalela...