Intoleransi
makin berkembang di Indonesia
(tinjauan
permasalahan warganegara dan negara)
Toleransi dan intoleransi, dua
kata ajaib yang bisa memiliki arti penting dalam mendirikan sebuah Negara.
Apalagi bila negara tersebut memiliki keanekagragaman budaya, agama, adat
istiadat seperti negara kita ini, Indonesia. Seiring dengan berkembangnya
zaman, dua kata tadi muncul ke permukaan melalui bantuan media-media yang ada.
Jika dulu toleransi adalah hal
yang selalu dijadikan fondasi persatuan dan kesatuan. Merupakan ciri khas
masyarakat kita, tiba-tiba saja kata
intoleransi muncul secara serampangan baik di jejaring sosial maupun
berita-berita harian, baik cetak maupun online. Seolah-olah mengungkapkan
kebohongan adanya toleransi dalam masyarakat yang ada.
Toleransi berarti adanya sikap
saling menghargai. Menghormati dalam keberagaman. Mengasihi tanpa pandang bulu
siapa dia. Dari mana latar belakangnya. Siapa orang tuanya, atau di mana ia
dilahirkan. Toleransi berarti hidup berdampingan. Saling sapa, senyum, membantu
yang membutuhkan. Menolong mereka dalam musibah. Salinng menguatkan baik dalam
perkara yang besar dan perkara yang kecil.
Jika kita tengok kebelakang,
banyak sekali contoh toleransi dalam kehidupan kita. Tak perlu jauh-jauh
melihat berita untuk menemukannya. Sebut saja, di sekolah tempat kita menimba
ilmu. Dalam satu kelas mayoritas bukan orang Indonesia asli. Ada keturunan
Arab, ada keturunan Jepang, ada pula asli kelahiran Indonesia, namun pemegang
passpor Malaysia.
Bukan hanya dari segi suku mereka
berbeda. Dari segi intlektualpun mereka sangat plural. Ada yang ber IQ tinggi.
Ada yang yang belum mampu berkomunikasi dengan baik. Beberapa anak bahkan masih
harus mendapat perhatian khusus karena mereka berkebutuhan khusus.
Tapi saat mereka mulai
mengerjakan tugas. Yang paling pandai akan membatu yang paling tidak bisa. Tak
peduli dari mana latar belakang mereka. Ketika satu diantara mereka yang tak
bisa komunikasi hilang, teman-teman lain berusaha mati-matian mencarinya tanpa
paksaan dari siapapun. Itulah yang
disebut toleransi.
Mungkin sebagian berfikir,
toleransi mereka karena settingan atau di kondisikan demikian oleh sekolah.
Kita bisa menulusuri contoh lain yang lebih popular saat ini. Jika anda
berjalan-jalan ke Solo, di sekitar jalan Jalan Gatot Subroto, bisa terlihat
sangat jelas ada hal ganjil di sana. Ganjil bukan karena tabu melainkan karena
ada Masjid bersebelahan dengan gereja. Dua bangunan ini, sudah cukup layak menjadi
saksi bisu hidupnya toleransi antar kepercayaan di daerah tersebut.
Bagaiman dengan kata
intoleransi?. Masih segar di ingatan
saya saat seorang guru kewarganegarran menerangkan apa itu intoleransi.
Panjang sekali maknanya. Yang jelas kata ini mencerminkan adanya sikap saling
benci. Saling tidak memahami. Iri hati, tidak mau mengalah, mementingkan
kepentingan golongan.
Tak ada penghargaan atas hak
apapun yang Tuhan titipkan pada mereka. Mereka selalu mengatakan saya benar,
ikuti atau terlindas. Turuti atau pergi. Miris memang jika harus di terangkan
dengan bahasa yang saya pakai. Mengingat saya sendiri juga salah seorang yang
pernah mengalami intoleransi itu. Trauma dan ketakutan menjadi penglaman tak
terlupakan mengenai kata intoleransi.
Ikut menghargai perbedaan serta
berpartisipasi menjadi bagian dari sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa,
semestinya menjadi suatu keharusan bagi setiap warga negara Indonesia.
Mengingat pancasila sila ke 3 berbunyi “Persatuan Indonesia”. Faktanya banyak
di antara kita, hanya hafal sila ke tiga tersebut.
Tapi untuk melaksanakannya,
jangan harap. Mengingat, masih banyak sekali perbedaan yang ada antara satu
individu dengan individu lain. belum lagi ada segelintir golongan dengan
pengaruh yang kuat berusaha menyusupkan paham atau ideologi yang mereka yakini.
Sadar atau tidak hal inilah yang juga memicu tumbuhnya sikap intoleransi pada
masyarakat kita.
Sangatlah tidak etis jika saya
harus mencontohkan intoleransi dari segi kehidupan saya. Mari kita ambil contoh
dari berita yang sudah tidak diragukan lagi kebenarannya. Beberapa bulan lalu
saat sebagian besar masyarakat Indonesia menunaikan ibadah puasa, masyarakat
digegerkan dengan berita mengenai penutupan warung oleh oknum satpol PP.
Dialah nenek Saeni, seorang
penjual nasi di daerang Serang, Banten. Hari itu, Rabu tanggal 8 Juni 2016.
Bagaikan tersambar petir dengan lengan tinggi, tiba-tiba satpol PP merampas
semua dagangan yang ada di warungnya. Dengan alasan adanya pelarangan berjualan
di bulan itu.
Dalam kasus ini, ada pihak yang
pro dan setuju atas penggerebakan itu. Ada pula yang merasa tindakan tersebut
terlalu berlebihan. Mengingat ada lebih dari satu agama di Indonesia. Bagi
pihak yang merasa kontra, mereka sampai rela mengumpulkan banyak donasi untuk
mengganti kerugian ibu Saeni. Bagi mereka yang Pro, tentu saja tindakan
penggalangan dana tersebut dianggap
bodoh.
Kurang ekstrimkah contoh di atas?
Mungkin dengan melihat keadaan di DKI Jakarta
sekarang, akan membuat sebagian kita bisa melihat dengan jernih. Salah satu calon Gubernur yang akan maju
dalam PILKADA mendatang berasal dari kaum minoritas.
Permasalahan bukan hanya dari
segi etnis, agama bahkan juga banyak isu-isu lain yang diangkat para
pendukung calon-calon Gubernur yang akan
menjadi lawannya.
Pertempuran tidak akan seru bukan
jika hanya berjalan biasa-biasa saja, hal inilah yang coba diyakini oleh Sang
Gubernur yang mencalonkan diri kembali.
Ia berusaha tetap santai dan tidak terlalu ambil pusing atas intoleransi yang
dialaminya. Baginya intoleransi seperti itu sudah sering terjadi. Hanya saja
bedanya dulu tidak terblow up oleh media.
Pada dasarnya di dalam setiap
kehidupan ini, selalu saja ada pilihan. Pilihan untuk bertindak baik atau
buruk. Pilihan untuk menjadi bagian dari masyarakat penuh toleransi, atau
sebaliknya. Ikut dalam pusaran sekelompok orang yang tidak mengenal perbedaan
sama sekali, intoleransi atau sebaliknya, menjadi bagian dari golongan anti
toleransi yang memukul rata semua perbedaan.
Sebagai salah satu insan yang
lahir di bumi Pertiwi, saya pun akan lebih setuju mengikuti jejak para toleran.
Bukan karena saya sering mendapat perlakuan kurang adil, melainkan karena saya
ingin menjadi waraga Negara yang baik. Saya tidak ingin merusak Negara ini
dengan paham intoleransi. Saya ingin negara ini menjadi semakin kuat dalam
perbedaan, dengan kata toleransi sebagai perekatnya.
Dalam kasus lain kita ketahui
bahwasanya intoleransi semakin meningkat setiap tahunnya dan jawaban nya pun
karena pemerintah menganggap wajar terhadap hal ini dan mengabaikan hak asasi
manusia yang ada. Hal ini terlihat ketika presiden kita SBY sangat minim kaitan
nya dengan intoleransi di Indonesia. SBY hanya gemar melakukan komitmen
politik-politik kata yang berujung pada pencitraan. Hal ini terlihat dari
penelitian institute tahun 2011.
Kita mungkin tidak akan lupa
mengenai kasus Ahmadiyah, kasus pembakaran gereja, kasus syah serta kasus
lainnya. Apakah kasus diatas semua disebutkan akan penyelesaian mengenai hal
ini? Cukup disayangkan negera tidak berani mengungkap dan menindak para pelaku.
Negara justru membiarkan dan terlihat seperti tertekan terhadap sekelompok
masyarakat. Artinya dalam kasus intoleransi negara kalah dan tidak mampu
memberikan perlindungan terhadap warga negara nya.
Adapun
cara yang dapat meningkatkan sikap toleransi antara lain :
-
Menumbuhkan rasa Kebangsaan dan dan Nasionalisme.
-
Mengakui dan menghargai Hak Asasi Manusia.
-
Tidak memaksakan kehendak orang lain dalam memilih.
-
Memberikan bantuan pada setiap yang membutuhkan tanpa memandang perbedaan.
-
Memperkokoh silaturahmi dan menerima perbedaan.
Pada hakikatnya Indonesia adalah
Negara yang memiliki keragaman agama, suku, dan budaya. Namun keanekaragaman
tersebut tidak akan menjadikan kita tercerai berai bila kita dapat menjaga
keanekaragaman itu dengan saling bertoleran. Toleransi adalah tonggak untuk
mewujudkan kehidupan yang rukun, harmonis, aman, dan tentram. Untuk itu marilah
kita saling toleran agar supaya perbedaan diantara kita dapat menyatu dan
menjadikan Negara kita Negara yang majemuk dan sejahtera.