KASUS UU PERINDUSTRIAN
UU Perindustrian tak Atur Sanksi Pidana, Kecuali untuk SNI Wajib
Bisnis. com, JAKARTA--Dalam UU No.3/2014 tentang
Perindustrian, pemerintah tidak mengedepankan sanksi berupa tindak pidana bagi
tindak penyalahgunaan atau pelanggaran UU. Pemerintah hanya mengepung pelanggar
dengan sanksi berupa administratif.
Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kementerian
Perindustrian Prayono mengatakan sanksi paling menakutkan bagi pengusaha adalah
pencabutan izin usaha.
Oleh sebab itu, dalam UU Perindustrian,
pemerintah hanya mengepung pelanggar dari sisi administratif dengan tingkat
paling tinggi pencabutan izin usaha. Adapun satu-satunya sanksi pidana yang
diatur dalam UU Perindustrian, hanya diberikan bagi pelanggaran atau
penyalahgunaan pada SNI wajib.
“Pengusaha itu kalau dicabut izinnya sudah mati. Meskipun ada kasus dalam dunia usaha yang harus memberikan sanksi pidana, itu diatur oleh UU lain, bukan UU Perindustrian,” kata Prayono, Selasa (17/6/2014)
Menurutnya, keputusan tersebut berdasarkan diskusi dengan berbagai kementerian/lembaga terkait dan kalangan pengusaha. Sebagian besar pelaku usaha meminta agar sanksi pidana tidak diatur dalam UU Perindustrian kecuali untuk SNI Wajib. Sanksi pidana untuk penyalahgunaan SNI wajib dibutuhkan lantaran berkaitan dengan perlindungan terhadap konsumen.
“Soalnya terkait kesehatan dan keselamatan. Kalau sengaja bisa kena lima tahun penjara dan denda sekitar berapa miliar, itu diatur dalam UU,” tambah dia.
Perlu diketahui, pasal 120 ayat 1 mengenai Ketentuan Pidana disebutkan setiap orang yang dengan sengaja memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau jasa industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang industri sebagaimana dimaksud pasal 53 ayat 1 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp3 miliar.
Adapun bunyi pasal 53 ayat 1 huruf b yang dimaksud adalah setiap orang dilarang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau jasa industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib.
“Satu-satunya kebijakan dalam UU Perindustrian yang dikenakan pidana hanya tentang SNI wajib ini. Kami rasa, sanksi pidana perlu disampaikan agar ada efek jera,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Anshari Bukhari.
Menurut Anshari, menghadapi masyarakat ekonomi Asean (MEA) yang akan berlaku pada Desember 2015, SNI sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri. “Oleh sebab itu, kami merasa tindak pidana ini diperlukan. Nilainya saya rasa cukup besar sebagai suatu denda atau pidana penjara,” tambahnya.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 120 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
“Pengusaha itu kalau dicabut izinnya sudah mati. Meskipun ada kasus dalam dunia usaha yang harus memberikan sanksi pidana, itu diatur oleh UU lain, bukan UU Perindustrian,” kata Prayono, Selasa (17/6/2014)
Menurutnya, keputusan tersebut berdasarkan diskusi dengan berbagai kementerian/lembaga terkait dan kalangan pengusaha. Sebagian besar pelaku usaha meminta agar sanksi pidana tidak diatur dalam UU Perindustrian kecuali untuk SNI Wajib. Sanksi pidana untuk penyalahgunaan SNI wajib dibutuhkan lantaran berkaitan dengan perlindungan terhadap konsumen.
“Soalnya terkait kesehatan dan keselamatan. Kalau sengaja bisa kena lima tahun penjara dan denda sekitar berapa miliar, itu diatur dalam UU,” tambah dia.
Perlu diketahui, pasal 120 ayat 1 mengenai Ketentuan Pidana disebutkan setiap orang yang dengan sengaja memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau jasa industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang industri sebagaimana dimaksud pasal 53 ayat 1 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp3 miliar.
Adapun bunyi pasal 53 ayat 1 huruf b yang dimaksud adalah setiap orang dilarang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau jasa industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib.
“Satu-satunya kebijakan dalam UU Perindustrian yang dikenakan pidana hanya tentang SNI wajib ini. Kami rasa, sanksi pidana perlu disampaikan agar ada efek jera,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Anshari Bukhari.
Menurut Anshari, menghadapi masyarakat ekonomi Asean (MEA) yang akan berlaku pada Desember 2015, SNI sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri. “Oleh sebab itu, kami merasa tindak pidana ini diperlukan. Nilainya saya rasa cukup besar sebagai suatu denda atau pidana penjara,” tambahnya.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 120 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
Adapun saat ini, berdasarkan usulan
Kemenperin ke Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah ditetapkan pemberlakuan
3 SNI Wajib dengan penunjukkan 4 Lembaga Penilaian Kesesuaian, serta yang masih
dalam proses pemberlakuan SNI Wajib ada 65 SNI.
Analisis
Dengan kasus diatas jelas
ini melanggar perundang undangan industri kita, adapun pasal yang dapat
dikenakan bagi para pelaku ialah;
Undang-Undang Standarisasi
dan Penilaian Kesesuaian yang disahkan pada September 2014 lalu, Pemerintah
Indonesia tidak hanya akan memberikan sanksi administratif tapi akan
menerapkan sanksi tegas bagi setiap penyalahgunaan aturan SNI wajib dengan
ancaman pidana penjara atau denda. Dalam UU Standardisasi dan Penilaian
Kesesuaian BAB X tentang Ketentuan Pidana Pasal 62 hingga 73 tertuang tentang
adanya sanksi pidana bagi pihak yang melakukan pelanggaran. Sanksi tersebut
adalah :
- Pasal 62 : Setiap orang yang memalsukan SNI atau membuat SNI palsu diberikan pidana penjara paling lama 7 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 50 M.
- Pasal 63 : Setiap orang yang dengan sengaja memperbanyak, memperjualbelikan, atau menyebarkan SNI tanpa persetujuan BSN diberikan pidana paling lama 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4 M.
- Pasal 64 : Setiap orang yang dengan sengaja membubuhkan tanda SNI dan /atau Tanda Kesesuaian pada Barang dan/ atau kemasan atau label di luar ketentuan yang ditetapkan dalam sertifikat; membubuhkan nomor SNI yang berbeda dengan nomor SNI pada sertifikatnya akan dikenakan pidana penjara paling lama 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4 M.
- Pasal 65 dan 66 : Setiap orang yang tidak memiliki asertifikat atau memiliki sertifikat tetapi habis masa berlakunya, dibekukan sementara, atau dicabut yang dengan sengaja memperdagangkan atau mengedarkan Barang, memberikan Jasa, dan/atau menjalankan proses atau sistem dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 35 M
- Pasal 67 : Setiap orang yang mengimpor barang yang dengan sengaja memperdagangkan atau mengedar Barang yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 35 M
- Pasal 68 : Setiap orang yang tanpa hak menggunakan dan/atau membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 35 M.
- Pasal 69 : Setiap orang yang memalsukan tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian atau membuat Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian palsu dipidana penjara paling lama 7 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 50 M.
- Pasal 70 : Setiap orang yang dengan sengaja: menerbitkan sertifikat berlogo KAN; menerbitkan sertifikat kepada pemohon sertifikat yang tidak sesuai dengan SNI; menerbitkan sertifikat di luar ruang lingkup Akreditasi dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 35 M.
- Pasal 71 : Setiap orang yang memalsukan sertifikat Akreditasi atau membuat sertifikat Akreditasi palsu dipidana penjara paling lama 7 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 50 M
- Pasal 72 : pelaku tindak pidana dapat dijatuhi pidana tambahan berupa : kewajiban melakukan penarikan Barang yang telah beredar; kewajiban mengumumkan bahwa Barang yang beredar tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan/atau perampasan atau penyitaan Barang dan dapat dimusnahkan.
- Pasal 73 : pidana denda yang dijatuhkan terhadap korporasi, diberlakukan dengan ketentuan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda secara pribadi dan diberikan pidana tambahan berupa: pencabutan izin usaha; dan/atau pencabutan status badan hukum.
Menurut saya, adanya
pelanggaran SNI ini terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu,
semakin banyak orang yang memperjual belikan helm misalnya tanpa adanya SNI
tersebut padahal hal ini justru dapat memberikan pengaruh yang buruk untuk
orang lain terutama untuk yang membelinya. Helm yang sudah berstandar SNI
tersebut kemungkinan besar sudah teruji oleh pemerintah dan aman serta
kualitasnya pun terjamin. Sedangkan untuk helm yang diperjual belikan tanpa
adanya standar nasional tersebut justru cenderung tidak berada pada
perlindungan pemerintah. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena adanya
perbedaan harga antara helm yang berstandar nasional dengan helm yang bukan SNI
apalagi sampai memalsukan SNI. Helm yang berstandar nasional biasanya cenderung
lebih mahal dibandingkan dengan helm-helm yang sudah biasa beredar dan bukan
SNI, sehingga kebanyakan dari orang-orang di negeri kita ini hanya memikirkan “yang
penting saya pake helm dan tidak ketilang”. Maka menurut saya mindset seperti
ini harusnya sudah harus dihilangkan dan diubah pola pikirnya. Kita harus
berpikir bahwasanya helm itu penting untuk keselamatan kita dan bukan hanya
karena takut pada polisi, ditilang, dan lain sebagainya. Maka pentingnya
mengubah mindset dari sekarang karena mau sampai kapan biar bagaimanapun
keselamatan adalah hal yang palin utama bukan karena takut pada siapapun dan
alangkah baiknya apabila diterapkan mulai dari sekarang untuk mengurangi
membeli helm yang bukan SNI dan mulailah membeli helm yang berstandar nasional.
Namun ada juga kesalahan daripada pelanggaran yang dilanggar oleh produsennya
itu sendiri yaitu kebanyakan produsen dengan sengaja memalsukan helm SNI
seperti kasus diatas serta produsen yang memperjualbelikan helm yang tidak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku misalnya produsen tersebut tidak memperjual
belikan helm SNI dan hanya helm yang bukan SNI yang mereka jual belikan padahal
tanpa ia sadari hal tersebut telah melanggar hukum.
Banyak sekali Sanksi yang
tegas sebagaimana disebutkan diatas, hal tersebut telah membuktikan keseriusan
pemerintah untuk menegakkan perlindungan pada kepentingan nasional dan sebagai
usaha untuk meningkatkan daya saing nasional. Meski di sisi lain kesiapan dari
masyarakat industri di Indonesia untuk menjalankan regulasi yang telah
dirumuskan tidak bisa diabaikan. Untuk itu sinergi dalam berbagai bidang antara
pemerintah dan juga masyarakat Indonesia mulai dari sosialisasi regulasi, peran
serta masyarakat dalam melaksanakan SNI, perumusan SNI, membangun budaya
standar, serta melaporkan pelanggaran menjadi hal yang utama untuk bisa
diwujudkan.
Kesimpulan
Menurut saya hukum
diindonesia harus diperkuat lagi penerapannya, kalau perlu harus ada tindakan
khusus keras agar nantinya hal ini dapat dijadikan contoh bahwa setiap
pelanggar harus berfikir ulang sebelum melakukan tindak pelanggaran. Sehingga mereka
yang ingin melanggar tidak menyepelekan ataupun menganggap remeh jika mereka
sudah mengetahui sanksi ataupun hukuman apa yang akan mereka dapatkan apabila melanggarnya. Setidaknya
dengan mereka mengetahui sanksi apa yang didapat mereka dapat berpikir terlebih
dahulu sebelum melakukannya. Karena Hukum adalah sebuah paksaan yang
keberadaannya harus jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar