Warok dan gemblak sebuah homoseksual masyarakat Jawa
(tinjauan permasalahan penduduk, masyarakat, dan
kebudayaan)
Permasalahan
mengenai seksualitas selalu menjadi perbincangan yang menarik diberbagai
kalangan. Banyak masyarakat yang berpendapat bahwasanya permasalahan mengenai
seksualitas tidaklah pantas untuk dibicarakan diranah publik. Namun disisi lain seksualitas
kini telah menjadi fenomena yang menarik dan membuat penasaran banyak orang.
Homoseksualitas
adalah rasa ketertarikan romantis atau seksual atau perilaku antar individu
berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual
homoseksualitas mengacu kepada “pola berkelanjutan atau disposisi untuk
pengalaman seksual, kasih sayang atau ketertarikan romantis” terutama atau
secara ekslusif kepada orang dari jenis kelamin yang sama, homoseksualitas juga
mengacu pada pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial
berdasarkan pada ketertarikan, perilaku eksperesi, dan keanggotaan dalam
komunitas lain yang berbagi itu.
Homoseksualitas
merupakan salah satu dari tiga kategori utama orientasi seksual, bersama dengan
biseksualitas dan heteroseksualitas, dalam kontinum heteroseksual-homoseksual.
Kosensus ilmu-ilmu perilaku dan sosial juga profesi kesehatan dan kesehatan
kejiwaan menyatakan bahwa homoseksualitas adalah aspek normal dalam orientasi
seksual manusia.
Orientasi
seksual manusia umumnya dibahas sebagai karakteristik individu, seperti jenis
kelamin biologis, identitas gender, atau usia. Perspektif ini tidak lengkap
karena orientasi seksual selalu didefinisikan dalam istilah relasional dan
harus melibatkan hubungan dengan orang lain. Tindakan seksual dan atraksi
romantis dikategorikan sebagai homoseksual atau heteroseksual sesuai dengan
jenis kelamin biologis individu yang terlibat didalamnya, yang saling
berhubungan relative satu sama lainnya. Memang individu mengungkapkan
heteroseksualitas, homoseksualitas, atau biseksualitas mereka dengan tindakan
atau keinginan mereka terhadap orang lain. Hal ini mencakup tindakan-tindakan
sederhana seperti berpegangan tangan atau berciuman. Jadi, orientasi seksual
secara integral terkait dengan hubungan personal seseorang individu yang
dibentuk dengan individu lain untuk memenuhi kebutuhan akan cinta, ikatan, dan
kentiman. Selain perilaku seksual, ikatan ini mencakup kasih sayang fisik non
seksual antara pasangan, tujuan dan nilai-niai bersama, saling mendukung dan
komitmen berkelanjutan.
Homoseksualitas
bukanlah penyakit kejiwan dan bukan penyebab efek seksualitas negtive,
prasangka terhadap kaum biseksual dan homoseksual lah yang menyebabkan efek
semacam itu. Meskipun banyak sekte-sekte agama dan organisasi “mantan gay”
serta beberapa asosiasi psikologi memandang bahwa kegiatan homoseksual adalah
dosa atau kelainan. Bertentangan dengan pemahaman secara ilmiah, berbagai sekte
serta organisasi kerap menggambarkan bahwa homoseksualitas merupakan sebuah
“pilihan”.
Dalam budaya
Indonesia, seksualitas dalam hal apapun dianggap sebagai subjek yang tabu, dan
dihakimi sebagai tindak pencabulan. Seksualitas apalagi homoseksualitas menjadi
hal yang pribadi, dalam budaya Indonesia malu adalah sesuatu hal yang lazim
sehingga banyak orang yang “out of closet” karena budaya malu yang kuat di
Indonesia. Sehingga, masyarakat yang toleran terhadap homoseksual memilih untuk
diam dan tidak membicarakan nya. Waria atau laki-laki yang telah menghayati
dirinya menjadi perempuan di Indonesia kini mempermainkan peranan nya didalam
kebudayaan Indonesia. Banyak
pertunjukan di Indonesia yang menunjukan dan menampilkan waria sebagai objek
gurauan ataupun sebagai objek yang dapat menarik perhatian para masyarakat
sehingga mereka dijadikan penghibur masyarakat.
Banyak
pertunjukan di Indonesia seperti lenong, ludruk dan ketoprak yang sering
menampilkan waria sebagai tokoh yang menjadi gurauan, humor bahkan ejekan pada
kalangan masyarakat. Bahkan saat ini tokoh-tokoh waria yang sering
tampil-tampil di televisi lama kelamaan dapat diterima oleh kalangan masyarakat
bahkan menjadi tokoh yang dinanti-nantikan kedatangan nya dalam menampilkan
keseruan ataupun kehumorisan nya yang akan ia tampilkan dan beda setiap
harinya. Dalam pandangan televisi indonesia kini hal tersebut menjadi hal yang
biasa dan tidak menjadi hal yang seharusnya dipermasalahkan lagi bahkan itu
cukup dapat diterima untuk memiliki penghibur yang berpernampilan transgender
dalam tokoh mayarakat
Hal ini
biasanya dianggap lucu bagi kalangan masyarakat, beda halnya ketika mereka ada
di kalangan keluarga mereka sendiri. Tidak semua yang berlaku feminim dapat
diterima oleh kalangan keluarganya, justru hal seperti ini sering kali dianggap
sebagai aib dalam keluarga mereka.
Mekipun
waria dan juga pekerja seks telah lama memainkan peranan mereka dalam budaya
Indonesia, identitatas homoseksualitas laki-laki gay dan perempua lesbian di
Indonesia akhir-akhir ini sering kali dijadikan sebagai film, televisi dan
media. Padahal sebuah hubungan di homoseksual tradisiional tertentu dapat
ditemukan di Jawa Timur dalam hubungan warok dan gemblak.
Warok adalah
pahlawan lokal tradisional Jawa atau “orang kuat” yang biasanya melakukan
kesenian tradisional Reog Ponorogo. Menurut tradisi warok sendiri, warok
diwajibkan untuk melakukan pantangan yaitu ia dilarang untuk melakukan ataupun
yang terlibat dalam hal-hal seksual dengan perempuan, namun berhubungan seksual
dengan laki-laki berusia 8 sampai dengan 15 tahun diperbolehkan. Jadi dapat
disimpulkan bahwasanya seorang yang dikatakan warok dia harus menjaga kesucian
dirinya sehinga tidak dapat teribat dalam hal-hal berbau seksual selain dari
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Dalam
berbagai kisah diungkapkan, seorang warok akan menjalani tapabrata untuk
mencapai kesaktian. Dan untuk mencapai kesaktian tersebut seorang warok harus
menjalankan puasa perempuan dan menuntaskan hasratnya kepada laki-laki tampan
yang sengaja dipeliharanya hal tersebut disebut juga sebagai gemblak.
Gemblak
merupakan laki-laki berusia 12-15 tahun. Mereka beraparas tampan dan terawat
yang sengaja dipeliharanya. Bagi seorang warok hal ini merupakan hal biasa dan
wajar serta dapat diterima dikalangan masyarakat. Konon seorang warok dapat saling
memperebutkan gemblak dan bahkan terjadi praktik pinjam meminjam gemblak dengan
dikenakan biaya yang dibilang tidak cukup murah. Hal tersebut kembali kepada gemblakan
mereka masing-masing. Bila gemblak bersekolah maka warok yang memliharanya
harus membiayai semua kepentingan serta kebutuhan sekolahnya disamping
keperluan makan dan tempat tinggal. Sedangkan bagi gemblak yang tidak bersekolah
maka, setiap tahun warok memberikannya seekor sapi.
“kekasih muda” disebut gemblak dan biasanya disimpan oleh
warok dalam rumah tangga mereka dibawah perjanjian dan kompensasi kepada
keluarga anak itu. Warok diperbolehkan untuk menikah dengan seorang perempuan
namun, mereka mungkin tetap memiliki gemblak. Hal ini yang menyebabkan warok
dan gemblak seperti kisah penjantaanan di Yunani kuno. Siapa saja yang mengenal
tradisi ataupun cara hidup tradisional di Ponorogo dan mengetahui adanya pria
yang lebih tua tidak berhubungan dengan istri-istri mereka dan justru
berhubungan dengan laki-laki yang jauh lebih muda dengan pria tersebut, mungkin
yang dilakukan oleh warok dan gemblak tersebut adalah salah satu tindakan
homoseksual. Dan sering kali mereka yang melakukan hal demikian tidak pernah
mengidentifikasikan dirinya sebagai homoseksual.
Kewajiban
setiap warok untuk memelihara gemblak pun turun-temurun dipercaya guna
memperhankan kesaktian. Selain itu ada kepercayaan kuat dikalangan warok yani,
berhubungan intim dengan perempuan sekalipun itu adalah istri mereka dapat
melunturkan kesaktian mereka. Praktik gemblakan dikalangan warok
diidentifikasikan sebagai praktik homoseksual karena warok tidak diperkenankan
mengumbar nafsu mereka kepada perempuan.
Kini praktik
warok dan gemblak tidak disarankan oleh pemuka agama setempat dan ditentang
melalui perlawanan moral publik. Karena hal itulah sekarang pagelaran Reog
Ponorogo jarang sekali ditampilkan ataupun menampilkan gemblak, anak laki-laki
sebagai penunggang kuda jatil, peran mereka kini telah digantikan oleh
perempuan. Meskipun praktik warok dan gemblak ini masih sering dilakukan secara
diam-diam.
Karena hal
tersebut dianggap tidak wajar dalam sudut pandang agama. Kisah ini tentu telah
dikemukakan dalam al-Quran dalam peristiwa nabi Luth beserta umat homoseksual
dikota sodom dimana kaum tersebut dianggap sebagai kaum yang laknatullah
ataupun kaum terlakanat oleh Allah SWT sehingga, Allah menimpakan bencana yang
besar kepada mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar yaitu meninggalkan
kehidupan homoseksual atau mencintai sesama jenis.
Kini saatnya
pemerintah, agama serta masyarakat Indonesia sudah seharusnya mulai terbuka dan
tidak lagi menutup mata dengan fakta kehidupan yang beragam dalam fonemena
tersebut dijelaskan bahwasanya homoseksual sudah ada sejak zama dahulu dan ini
bukanlah salah satu kasus yang menimpa pada zaman modern saja tetapi sudah
dikenal lama dalam peradaban manusia. Dan terdapat budaya mendukung
homoeksualitas pada ratusan tahun yang lalu seperti bissu,calabai dan calakai
serta ritual inseminasi anak laki-laki Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar